Monday, July 27, 2020

Spiritualitas dalam Tuduhan dan Kecurigaan

(Catatan dan Refleksi Acara 'Nutu Piwulang Sastrajendra dan Wulangreh' pada Pasamuan Agung IV Komunitas Debog Wengker Ponorogo, 30 September 2018)

Oleh: Ahmad M. Nizar Alfian Hasan




MENANDAI PERJALANAN

Pasamuan Agung Kaping Sekawan - Komunitas Debog Wengker, sebetulnya tidak bisa lepas dari rangkaian acara serupa yang menjadi proses refleksi tersendiri, terutama bagi anggotanya. Medseba, Suwung hingga Sastrajendra, sejatinya adalah serangkaian wawasan yang berkesinambungan. Singkatnya 'Medseba' yang menjadi tema perdana Pasamuan Agung, lebih pada mengungkap pendekatan dan mengenalkan konsep dasar berikut praktik meditasi nusantara kuno. Termasuk untuk pertama kalinya anggota Debog Wengker dikenalkan ragam 'mudra' dalam latihan-latihan praktik dasar.

Sehingga dari momentum pertama itu terasa sekali kami masih dalam tahap menjajagi pemahaman, sehingga esok pagi-pagi setelah acara beberapa dari 'sedherek' Debog Wengker membahas secara terbatas fenomena baru itu di salah satu Warkop pinggir kali di Barat Desa.

Lalu berlanjut ke 'Suwung'  pada Pasamuan Agung II, di mana saat itu terasa sekali atmosfir teologisnya. Pembahasan tentang 'Suwung' mengantarkan pada pendekatan atas Dzat "Sang Maha Kuasa." Meskipun skema 'dua narasumber' sudah kami terapkan di Pasamuan Agung II itu, namun yang terjadi tetap saja perhatian kami mengerucut pada penjelasan dan contoh langsung dari Mas Setyo Hajar Dewantoro (SHD) sendiri.

Beberapa poin mendasar diungkap, termasuk bagaimana memetakan sumber-sumber energi dan titik-titik penghubung kesadaran dalam diri yang perlu disadari kegunaannya. Pada kesempatan kedua ini sudah tidak berkutat lagi pada teknik dan ragam mudra, melainkan beranjak pada pendalaman lebih jauh tentang meditasi, mengupas lebih dalam tentang bagaimana menjangkau kesadaran 'suwung.' Sederhananya, kami mulai diajak untuk beranjak dari hal-hal teknis menuju ke pemahaman-pemahaman dasar.


MENUAI PERJUMPAAN

Singkat cerita selanjutnya, Debog Wengker dalam beberapa bulan terakhir dipertemukan dengan nafas-nafas baru yang lebih segar. Lebih spesifik saya sebut, beberapa anggota yang bergabung belakangan cukup menambah warna, terkait semacam kecakapan tertentu dalam membaca --makna sebenarnya-- naskah-naskah kuno. Hal ini seolah menggenapi gairah anggota terdahulu yang sedang mendapati konsekuensi logis berhadapan dengan naskah-naskah tersebut.

Intensitas berziarah sambil menelusuri makam-makam kuno, baik yang terkait dengan tujuan mengungkap sejarah Ponorogo ataupun latar sejarah yang lebih lebar (Jawa) ternyata tidak bisa tidak harus berjumpa dengan sederet naskah baik berupa serat, sarasilah, babad atau juga bentuk-bentuk catatan yang lain. Sementara sebagai jejak budaya yang terikat waktu, naskah-naskah tersebut tentu saja ditulis dengan cara yang khas pada jamannya.

Oleh karena itulah pada Pasamuan Agung IV, ada pertimbangan untuk mulai meng-kader narasumber muda dengan memberikan kesempatan berbagi refleksi atas pembacaan mereka terhadap naskah-naskah tersebut, salah satunya 'Serat Wulangreh' yang menjadi kajian Izzuddin Rijal Fahmi, salah satu dari kader-kader muda tadi.  Di saat yang sama, Mas SHD baru saja menyelesaikan Buku Sastrajendra yang menjadi rekaman perjalanan ruhaninya pasca 'suwung' sehingga ramuan konsep acaranya betul-betul hendak menyandingkan, artinya mengakomodir yang ahli sekaligus yang pemula, atau yang berbasis 'perjalanan' dengan yang bergelut di pembacaan literatur.


MENDARATKAN KEBUTUHAN

Selanjutnya Sastrajendra dan Wulangreh, secara dangkal bisa dimaknai sebagai ajaran (piwulang) tentang bagaimana seseorang menempa jiwa. Keterbatasan saya menyederhanakannya sebagai cara menggayutkan sebanyak mungkin capaian spiritual dengan laku keseharian bagi siapapun yang ingin menghayati dan mengamalkannya. Inilah sebetulnya yang menjadikan khasanah kearifan seperti Sastrajendra dan Wulangreh sangat relevan dengan kebutuhan manusia-manusia sekarang yang cenderung berjiwa asing dengan pemaknaan dirinya sendiri.

***

Refleksi singkat dari momen Pasamuan Agung IV Debog Wengker tadi menandai sebuah pesan penting bahwa pencapaian kesadaran (ilmu) dalam bidang apapun (tidak hanya spiritual) mensyaratkan sebuah praktik langsung yang memungkinkan kesadaran itu terbangun dengan otentik, selain adanya Sang Guru yang niscaya membimbingnya.

Seorang spiritualis tidak mungkin mencapai kesadaran otentik tanpa laku spiritual yang sesungguhnya. Seorang pemberdaya tidak mungkin mencapai kemanfaatan yang paripurna, sebelum lebih dulu memberdayakan dirinya. Seorang pengorganisir tidak mungkin berfungsi optimal tanpa lebih dulu mengidentifikasikan dirinya (melebur) dengan basis masyarakat yang didampingi. Begitulah sejatinya data-data kesadaran yang melimpahi semesta hanya dapat diakses lewat praktik (laku) yang konsisten dan berkesinambungan.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya apabila tulisan 'Inti Pecel' ini saya sudahi, karena sudah tidak layak diperpanjang lagi. Salam Rahayu!

Bumi Sepanggang, 14 Oktober 2018

No comments:

Post a Comment