Selama ini masyarakat Jawa "dipaksa" untuk percaya bahwa pembunuh Ki Ageng Mangir adalah sang mertua yang tak lain
adalah Panembahan Senopati, raja pertama dinasti kraton Mataram. Secara
akal sehat pun cerita tersebut sulit diterima akal sehat. Bagi
Panembahan Senopati, bersatunya wilayah perdikan Mangir yang terkenal
memiliki bala tentara yang mahir berperang, jelas merupakan keunggulan
tersendiri bagi kraton yang belum seumur jagung itu. Ki Ageng Mangir
dengan nama kecil Raden Djoko Humbul Wonoboyo adalah Putra Kyai Ageng
Bondan Surati bin Prabu Brawidjaya yang masih trah keturunan langsung
raja Majapahit, sangat mahir bertempur dan memiliki senjata pusaka
hebat, Kyai Baruklinting..
Pendapat yang menyatakan Ki Ageng Mangir masih beragama Hindu juga
terbantahkan. Ada catatan sejarah yang menyatakan Ki Ageng Mangit telah
diislamkan oleh Ki Juru Mertani dan Roro Sekar Pembayun (waktu itu masih
calon isterinya) dalam misi dakwah tingkat tinggi dengan berbagai trik,
termasuk trik berpura-pura jadi rombongan kesenian karawitan dan wayang
kulit. Semua dan demi kemaslahatan Mataram yang baru saja didirikan
oleh Ki Ageng Mangir sebagai penerus Pajang maupun Kasultanan Demak
.
Ki Mondoroko atau Ki Juru Mertani adalah murid langsung Kanjeng Sunan Kalijaga, seorang waliyullah besar, Ki Juru Mertani pasti tidak akan mengizinkan Puteri Pembayun yang adalah cucu keponakan kesayangan itu menikah dengan orang non Muslim. Panembahan Senopati sendiri sudah resmi merestui Ki Ageng Mangir menjadi menantu. Dengan begitu dia akan sekaligus menjadi sekutu Mataram dan menjadi sangat kuat. Sebagai suami dari puteri kesayangannya, Ki Ageng Mangir diijinkan keluar-masuk kamar pribadi untuk sholat Panembahan Senopati. Di sisi lain, Raden Ronggo pun biasa keluar-masuk ruangan tersebut, karena dia adalah anak siri Panembahan Senopati.
Pengislaman Ki Ageng Mangir sepertinya sengaja dibiaskan oleh beberapa pihak, termasuk oleh penjajah Belanda. Dengan memanfaatkan kesenjangan informasi ini, mereka bisa mengadu-domba antara kekuatan-kekuatan di kerajaan Mataram. Ada kepentingan penjajah untuk melanggengkan penjajahan, dengan cara "membunuh" karakter Panembahan Senopati sang Sultan Mataram yang gelarnya menunjukkan sebagai seorang wali penyebar agama Islam di Jawa, bahkan di Nusantara....
Catatan yang tertulis pada buku Babad Mangir sebagai sumber sejarah, sengaja tidak mencantumkan nama penulisnya, Tembok makam di mana konon Ki Ageng Mangir dimakamkan, dibangun pada abad 18 pada masa pemerintahan Hamengkubuwono II /III. Penulis Babad Mangir diperkirakan disosialisasikan oleh penulisnya pada saat berlangsung perang Diponegoro atau setelahnya.
Kekuatan sinergi.
Catatan sejarah menyatakan bahwa kekuatan tentara Mangir di bawah pimpinan Ki Ageng Mangir kalau digabung dengan kekuatan tentara Mataram, sangat memperkuat kraton Mataram. Ini yang dikawatirkan oleh para musuh maupun penjajah Belanda. Banyak adipati yang diam-diam (masih) menentang Mataram, bersatu dan bikin kolaborasi untuk menciptakan intrik politik guna memecah-belah kekuatan Mangir dengan Mataram yang telah diikat dengan pernikahan Ki Ageng Mangir dengan Roro Pembayun yang sudah direstui Panembangan Senopati.
Karena mau maju sendiri tidak berani, maka para adipati pesisir yang ingin memberotak tersebutan memanfaatkan Raden Ronggo untuk membunuh Ki Ageng Mangir. Pertimbangannya karena sebagai anak siri Panembahan Senopati, Raden Ronggo bebas keluar-masuk kraton. Kebetulan mentalitas Raden Ronggo memang agak kurang baik dan mudah diadu-domba oleh para adipati pembangkang itu.
Ketika Ki Ageng Mangir sedang sujud sholat, Raden Ronggo menghantamkan "watu gatheng" ke arah belakang kepala Ki Ageng Mangir. Mendengar tewasnya sang menantu, Panembahan Senopati murka, namun demi pertimbangan keamanan negara, dia mengambil-alih tanggung-jawab tersebut. Dia memerintahkan beberapa orang kepercayaan untuk menyembunyikan dan memakamkan menantunya itu. Panembahan Senopati pun memerintahkan Ki Patih Rogopun niti adik ki Ageng Mangir dan beberapa orang kepercayaannya untuk membunuh Raden Ronggo diluar benteng Mataram. Raden Ronggo pun tewas oleh tusukan tombak naga Baru Klinthing. Jejak dan makam Ki Patih Rojoniti ada di dusun Cangkring, Srandakan, Bantul. Termasuk makam keturunan Kyai Muntahal di Patihan, Srandakan, Bantul yang menurunkan Lurah Kerto Pengalasan, salah satu panglima perang hebat Pangeran Diponegoro
Berita pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati sengaja disebar-luaskan oleh para musuh Mataram dalam usaha mendiskreditkan Panembahan Senopati sebagai orang yang kejam, suka ingkar janji, penuh tipu muslihat. Watu Gilang adalah bukan singgasana raja. Tidak mungkin singgasana raja berwujud batu pipih setinggi 30 cm. Sangat tidak masuk akal orang yang sedang duduk bersila bisa membunuh seseorang dengan cara membenturkan kepala ke tempat duduk berupa batu pipih tersebut. Jadi menurut analisa Ki Ageng Mangir tidak pernah dibenturkan kepalanya di singgasana raja itu dan di hadapan para bupati....
Adapun makam Ki Ageng Mangir yang konon terbelah tembok pagar, juga tidak masuk akal. Makam Kotagedhe dibangun oleh kerabat Hamengkubuwono II dan III, bukan sejak Ki Ageng Mangir wafat.
Paska pembunuhan suaminya, Puteri Pembayun yang sedang mengandung, diungsikan ayahandanya ke tempat kakeknya Ki Penjawi di bumi Pati. Kelak anak itu lahir sebagai Ki Lurah Bagus Wonoboyo yang bersama ibundanya sempat berguru kepada Pangeran Benawa (Joko Tingkir) di Kendal. Putra tunggal Ki Ageng Mangir ini di kemudian hari ikut bertempur melawan VOC di Jepara 1618 bersama Tumenggung Bahurekso dan sahabatnya Ki Kartaran atau Ki Jepra. Ia pun kemudian ikut berperang melawan VOC Batavia sebagai komandan tentara Sandi Mataram di Batavia 1620 - 1629. Keberhasilan unitnya membunuh Jan Pieter Zoen Coen gubernur Jendral VOC dan mempersembahkan kepala JP Coen kehadapan Sultan Agung melalui Panembahan Juminah, menghentikan niat Sultan Agung menyerbu kembali Batavia.
Sampai dengan wafatnya Sultan Agung (1645), VOC tak pernah berani berperang melawan Mataram. Para Trah dan keluarga Mataram terus-menerus memelihara silaturahmi dengan para keturunan Mangir yang bermuara pada Puteri Pembayun. Para trah keturunan Ki Ageng Mangir pun banyak berperan dalam membantu eksistensi kerajaan Mataram pada masa-masa berikutnya, bahkan sampai sampai saat ini,
Pada umumnya trah keturuan Ki Ageng Mangir memiliki ciri-ciri agak ambigu atau mendua namun selalu mengambil jalan keras saat memutuskan untuk bertindak. Contohnya adalah Untung Suropati, Pramudya Ananta Tur, Raden Saleh, SM.Kartosuwiryo atau maestro lukis Basuki Abdullah yang meninggal secara tragis ditikam pencuri amatir yang kepergok saat mencuri di rumahnya. Kebanyakan trah keturunan Ki Ageng Mangir biasa mencantumkan nama-nama bangsawan atau pahlawan sebagai kebanggaan. Di sisi lain trah Mangir menyembunyikan perjuangan dan jati diri, mirip gaya pengorbanan Ki Ageng Mangir.
Dicopas di Facebook Choirul "Damar "Abdilla
Ponorogo, 9 Juni 2017
.
Ki Mondoroko atau Ki Juru Mertani adalah murid langsung Kanjeng Sunan Kalijaga, seorang waliyullah besar, Ki Juru Mertani pasti tidak akan mengizinkan Puteri Pembayun yang adalah cucu keponakan kesayangan itu menikah dengan orang non Muslim. Panembahan Senopati sendiri sudah resmi merestui Ki Ageng Mangir menjadi menantu. Dengan begitu dia akan sekaligus menjadi sekutu Mataram dan menjadi sangat kuat. Sebagai suami dari puteri kesayangannya, Ki Ageng Mangir diijinkan keluar-masuk kamar pribadi untuk sholat Panembahan Senopati. Di sisi lain, Raden Ronggo pun biasa keluar-masuk ruangan tersebut, karena dia adalah anak siri Panembahan Senopati.
Pengislaman Ki Ageng Mangir sepertinya sengaja dibiaskan oleh beberapa pihak, termasuk oleh penjajah Belanda. Dengan memanfaatkan kesenjangan informasi ini, mereka bisa mengadu-domba antara kekuatan-kekuatan di kerajaan Mataram. Ada kepentingan penjajah untuk melanggengkan penjajahan, dengan cara "membunuh" karakter Panembahan Senopati sang Sultan Mataram yang gelarnya menunjukkan sebagai seorang wali penyebar agama Islam di Jawa, bahkan di Nusantara....
Catatan yang tertulis pada buku Babad Mangir sebagai sumber sejarah, sengaja tidak mencantumkan nama penulisnya, Tembok makam di mana konon Ki Ageng Mangir dimakamkan, dibangun pada abad 18 pada masa pemerintahan Hamengkubuwono II /III. Penulis Babad Mangir diperkirakan disosialisasikan oleh penulisnya pada saat berlangsung perang Diponegoro atau setelahnya.
Kekuatan sinergi.
Catatan sejarah menyatakan bahwa kekuatan tentara Mangir di bawah pimpinan Ki Ageng Mangir kalau digabung dengan kekuatan tentara Mataram, sangat memperkuat kraton Mataram. Ini yang dikawatirkan oleh para musuh maupun penjajah Belanda. Banyak adipati yang diam-diam (masih) menentang Mataram, bersatu dan bikin kolaborasi untuk menciptakan intrik politik guna memecah-belah kekuatan Mangir dengan Mataram yang telah diikat dengan pernikahan Ki Ageng Mangir dengan Roro Pembayun yang sudah direstui Panembangan Senopati.
Karena mau maju sendiri tidak berani, maka para adipati pesisir yang ingin memberotak tersebutan memanfaatkan Raden Ronggo untuk membunuh Ki Ageng Mangir. Pertimbangannya karena sebagai anak siri Panembahan Senopati, Raden Ronggo bebas keluar-masuk kraton. Kebetulan mentalitas Raden Ronggo memang agak kurang baik dan mudah diadu-domba oleh para adipati pembangkang itu.
Ketika Ki Ageng Mangir sedang sujud sholat, Raden Ronggo menghantamkan "watu gatheng" ke arah belakang kepala Ki Ageng Mangir. Mendengar tewasnya sang menantu, Panembahan Senopati murka, namun demi pertimbangan keamanan negara, dia mengambil-alih tanggung-jawab tersebut. Dia memerintahkan beberapa orang kepercayaan untuk menyembunyikan dan memakamkan menantunya itu. Panembahan Senopati pun memerintahkan Ki Patih Rogopun niti adik ki Ageng Mangir dan beberapa orang kepercayaannya untuk membunuh Raden Ronggo diluar benteng Mataram. Raden Ronggo pun tewas oleh tusukan tombak naga Baru Klinthing. Jejak dan makam Ki Patih Rojoniti ada di dusun Cangkring, Srandakan, Bantul. Termasuk makam keturunan Kyai Muntahal di Patihan, Srandakan, Bantul yang menurunkan Lurah Kerto Pengalasan, salah satu panglima perang hebat Pangeran Diponegoro
Berita pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati sengaja disebar-luaskan oleh para musuh Mataram dalam usaha mendiskreditkan Panembahan Senopati sebagai orang yang kejam, suka ingkar janji, penuh tipu muslihat. Watu Gilang adalah bukan singgasana raja. Tidak mungkin singgasana raja berwujud batu pipih setinggi 30 cm. Sangat tidak masuk akal orang yang sedang duduk bersila bisa membunuh seseorang dengan cara membenturkan kepala ke tempat duduk berupa batu pipih tersebut. Jadi menurut analisa Ki Ageng Mangir tidak pernah dibenturkan kepalanya di singgasana raja itu dan di hadapan para bupati....
Adapun makam Ki Ageng Mangir yang konon terbelah tembok pagar, juga tidak masuk akal. Makam Kotagedhe dibangun oleh kerabat Hamengkubuwono II dan III, bukan sejak Ki Ageng Mangir wafat.
Paska pembunuhan suaminya, Puteri Pembayun yang sedang mengandung, diungsikan ayahandanya ke tempat kakeknya Ki Penjawi di bumi Pati. Kelak anak itu lahir sebagai Ki Lurah Bagus Wonoboyo yang bersama ibundanya sempat berguru kepada Pangeran Benawa (Joko Tingkir) di Kendal. Putra tunggal Ki Ageng Mangir ini di kemudian hari ikut bertempur melawan VOC di Jepara 1618 bersama Tumenggung Bahurekso dan sahabatnya Ki Kartaran atau Ki Jepra. Ia pun kemudian ikut berperang melawan VOC Batavia sebagai komandan tentara Sandi Mataram di Batavia 1620 - 1629. Keberhasilan unitnya membunuh Jan Pieter Zoen Coen gubernur Jendral VOC dan mempersembahkan kepala JP Coen kehadapan Sultan Agung melalui Panembahan Juminah, menghentikan niat Sultan Agung menyerbu kembali Batavia.
Sampai dengan wafatnya Sultan Agung (1645), VOC tak pernah berani berperang melawan Mataram. Para Trah dan keluarga Mataram terus-menerus memelihara silaturahmi dengan para keturunan Mangir yang bermuara pada Puteri Pembayun. Para trah keturunan Ki Ageng Mangir pun banyak berperan dalam membantu eksistensi kerajaan Mataram pada masa-masa berikutnya, bahkan sampai sampai saat ini,
Pada umumnya trah keturuan Ki Ageng Mangir memiliki ciri-ciri agak ambigu atau mendua namun selalu mengambil jalan keras saat memutuskan untuk bertindak. Contohnya adalah Untung Suropati, Pramudya Ananta Tur, Raden Saleh, SM.Kartosuwiryo atau maestro lukis Basuki Abdullah yang meninggal secara tragis ditikam pencuri amatir yang kepergok saat mencuri di rumahnya. Kebanyakan trah keturunan Ki Ageng Mangir biasa mencantumkan nama-nama bangsawan atau pahlawan sebagai kebanggaan. Di sisi lain trah Mangir menyembunyikan perjuangan dan jati diri, mirip gaya pengorbanan Ki Ageng Mangir.
Dicopas di Facebook Choirul "Damar "Abdilla
Ponorogo, 9 Juni 2017
No comments:
Post a Comment