Meskipun sudah dimatangkan terlebih dahulu "rounddown" perjalanan
hari ini, sebagaimana lazimnya Debog Wengker selalu lebih patuh pada
ketentuan "Sang Penuntun". Tapi setidaknya 2 agenda utama: ziarah makam
dan kongkow budaya, masih menjadi menu yang "mengenyangkan" dan selalu
memantik rasa syukur.
Adalah Kang
Si Jo Purwanto bersama ayahandanya yang akhirnya kami jumpai pertama
kali saat mampir sebentar di salah satu dugaan destinasi. Kami baru
kenal saat itu dan mengalir saja beberapa obrolan yang menggenapi
klarifikasi beberapa berita kesejarahan.
Berikutnya adalah makam alm. Mbah Kyai Hasan Minhaj - Tanjungrejo, Badegan, yang beliau dikenal sebagai Mursyid Thariqah Syathariyyah pada era-1800an dengan beberapa kemuliaan karena peran sentral dan keilkhlasan beliau sehingga mewariskan murid-murid 'alim yang kemudian menyebarkan kemanfaatan di banyak tempat. Di sini kami "berdialog" dengan sisa-sisa beberapa temuan ragam motif-arsitektural yang khas. Dalam kedangkalan kemampuan tafsir kami atas sastra-simbol, terbersit kesadaran tentang kemajuan alam pikir dan peradaban pada masa-masa itu. Pesan yang hadir adalah bahwa "teknologi tercanggih" yang diciptakan langsung oleh Tuhan, ternyata saat ini amat banyak tergeser oleh benda atau mesin ciptaan manusia. Sehingga segala daya terberi yang hakikatnya ada dalam setiap kelahiran manusia lambat laun terkebiri lalu berbalik menyebabkan bergantung. Imajinasi, kreatifitas dan daya cipta manusia sekarang nampaknya tak menunjukkan porsi yang sebenarnya diberikan oleh-Nya.
Lalu perjalanan kami pun berakhir di bilik seorang "teman ngobrol" yang asyik.... ialah Mbah Nano, yang mengakhiri telusuran hari ini dengan risalah kepasrahan yang menyelaraskan antara keilmuan pikir, kesucian batin dan keberanian watak... sekaligus mengutip beberapa hal tentang nasionalisme dan pancasila yang akan menjadi tambahan menu kami berikutnya...
...sehingga yang ada hanya rasa syukur...
Penulis alfian debog wengker, 23 April 2017
Berikutnya adalah makam alm. Mbah Kyai Hasan Minhaj - Tanjungrejo, Badegan, yang beliau dikenal sebagai Mursyid Thariqah Syathariyyah pada era-1800an dengan beberapa kemuliaan karena peran sentral dan keilkhlasan beliau sehingga mewariskan murid-murid 'alim yang kemudian menyebarkan kemanfaatan di banyak tempat. Di sini kami "berdialog" dengan sisa-sisa beberapa temuan ragam motif-arsitektural yang khas. Dalam kedangkalan kemampuan tafsir kami atas sastra-simbol, terbersit kesadaran tentang kemajuan alam pikir dan peradaban pada masa-masa itu. Pesan yang hadir adalah bahwa "teknologi tercanggih" yang diciptakan langsung oleh Tuhan, ternyata saat ini amat banyak tergeser oleh benda atau mesin ciptaan manusia. Sehingga segala daya terberi yang hakikatnya ada dalam setiap kelahiran manusia lambat laun terkebiri lalu berbalik menyebabkan bergantung. Imajinasi, kreatifitas dan daya cipta manusia sekarang nampaknya tak menunjukkan porsi yang sebenarnya diberikan oleh-Nya.
Lalu perjalanan kami pun berakhir di bilik seorang "teman ngobrol" yang asyik.... ialah Mbah Nano, yang mengakhiri telusuran hari ini dengan risalah kepasrahan yang menyelaraskan antara keilmuan pikir, kesucian batin dan keberanian watak... sekaligus mengutip beberapa hal tentang nasionalisme dan pancasila yang akan menjadi tambahan menu kami berikutnya...
...sehingga yang ada hanya rasa syukur...
Penulis alfian debog wengker, 23 April 2017
No comments:
Post a Comment